Minggu, 06 Oktober 2013

Taman Sari Jogjakarta


Dua ratus tahun silam, Taman Sari yang berarti “taman yang indah” adalah sebuah tempat rekreasi dan kolam pemandian atau disebut pula pesanggrahan bagi Sultan Yogyakarta beserta seluruh kerabat istana.
Terletak tidak jauh dari kompleks Keraton Yogyakarta saat ini, walau kondisinya cukup memprihatinkan sebagai salah satu situs peninggalan sejarah, taman yang setengahnya tinggal reruntuhan itu tetap banyak dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Mengutip dari Babad Mangkubumi, Taman Sari ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I atau Pangeran Mangkubumi pada tahun 1683 (silsilah kerajaan Mataram) menurut penanggalan tahun Jawa atau tahun 1757 Masehi. Taman itu berdiri, tepat bersamaan dengan berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (sejarah kerajaan Mataram).

Pesanggrahan Taman Sari dibangun setelah Perjanjian Giyanti (1755), yakni setelah Sultan Hamengku Buwono sekian lama terlibat dalam persengketaan dan peperangan. Bangunan tersebut dimaksudkan sebagai bangunan yang dapat dipergunakan untuk menenteramkan hati, istirahat, dan berekreasi. Meskipun demikian, Taman Sari ini juga dipersiapkan sebagai sarana/ benteng untuk menghadapi situasi bahaya. Di samping itu, bangunan ini juga digunakan untuk sarana ibadah. Oleh karenanya Pesanggrahan Taman Sari juga dilengkapi dengan masjid, tepatnya di bangunan Sumur Gumuling.

Kompleks Taman Sari yang menempati lokasi seluas lebih dari 12 hektare berarsitektur dan relief perpaduan antara gaya arsitektur Hindu, Budha, Islam, Eropa, dan Cina itu selesai dibangun pada tahun 1765 Masehi. Untuk memberi makna pada setiap bangunan, Sri Sultan Hamengku Buwono I waktu itu memberi nama masing-masing bangunan yakni Keraton Pulo Kenanga, Masjid Taman Sari dan Pulo Penambung yang terapung di atas air, kolam pemandian dan gedung tempat tidur Sri Sultan dan Permaisuri.

Dalam Babad Memana dan serat rerenggan, pengadaan bahan bangunan pembangunan Taman sari dipimpin Rangga Prawiro Sentiko, Bupati Madiun. Sedang pengawas pelaksanaan pembangunan dilakukan Tumenggung Mangundipuro.
Dalam catatan sejarah, pada tahun 1812 beberapa bangunan hancur akibat serangan Inggris dan tahun 1867 terjadi gempa bumi yang juga menghancurkan beberapa bangunan di kompleks Taman Sari. Namun saat ini keagungan masa lampau itu sirna oleh menjamurnya rumah-rumah penduduk di sekitarnya, kompleks Taman Sari sesungguhnya menjadi tak jelas.

Bangunan itu, memiliki nama masing-masing sesuai dengan fungsi atau kegunaan, seperti Gapura Agung adalah pintu masuk menuju kompleks Taman Sari yang dilengkapi dengan empat gedung kembar yang berfungsi sebagai pos penjagaan dan disebut pecaosan serta ada tempat ganti pakaian abdi dalem yang sehabis menjalankan tugas penjagaan yang disebut paseban.

Selain Gapura Agung juga terdapat Gapura Panggung.
Kolam pemandian terletak di sebelah selatan masjid membujur dari utara ke selatan terdiri dari kolam pemandian yang disebut Umbul Kawitan, Umbul Pamuncar, Umbul Panguras.

Umbul Panguras adalah kolam pemandian khusus bagi Sri Sultan, sedangkan Umbul Pamuncar adalah kolam pemandian yang disediakan bagi permaisuri, dan Umbul Kawitan untuk putra-putrinya Raja.

Bangunan lain Gedung Cemeti, Taman Ledoksari merupakan tempat peraduan dan tempat yang sangat pribadi untuk raja. Dalam sebuah rumor, menyebutkan, Taman Sari memiliki terowongan yang ujungnya tembus ke pantai selatan yang disebut Parangkusuma dan berfungsi sebagai sarana persiapan penyelamatan jika terjadi peperangan.

Satu bangunan yang menyiratkan perpaduan arsitektur Portugis dan Jawa adalah Sumur Gumuling, Bentuknya menyerupai gedung teater melingkar dan tepat di tengah bangunan, terdapat telaga buatan (Segaran) terdapat puing bangunan besar dan luas.

Di salah satu sisinya terdapat tangga setapak yang gelap menuju lorong bawah tanah Taman Sari yaitu Sumur Gumuling. Di ujung lorong terus menuju atrium (bilik) bundar yang terbuka bagian atasnya. Di tengah dasar atrium ada kolam kecil seperti sumur. Ruang kecil di sisi barat dari kedua galeri ini dipakai sebagai masjid. Jika dilihat dari keunikan struktur bangunan ada kemungkinan tempat itu didesain sebagai tempat meditasi dan pengasingan diri.

Selain itu menurut mitos, terowongan tersebut juga berfungsi sebagai jalan pertemuan antara Sultan dengan Penguasa Laut Selatan yaitu Nyai Roro Kidul.
Di tempat tinggal raja, dulunya disediakan ruang membatik, ruangan pementasan tari Bedoyo dan Srimpi, dengan atap terbuka sehingga Raja dan kerabatnya bisa menikmati pemandangan kota dan sekitarnya.

Pemugaran
Taman Sari terhitung sebagai satu dari 100 situs dunia yang terancam hancur. Jika ini terjadi maka Keagungan budaya dan seni masa lampau, tak akan bisa dipertahankan. Karena itu, berbagai sumber dana dikucurkan untuk membenahi peninggalan kuno situs kompleks Taman Sari.

Atas jasa Jogja Heritage Society The Calooste Golbenkian Foundation Portugal, yang memang bergerak di bidang bangunan peninggalan Portugal di dunia, mengulurkan tangannya untuk membantu renovasi Taman Sari. Kebetulan, Umbul Binangun yang saat ini sedang dilakukan renovasi besar-besaran memang berarsitektur Portugal, dan dua lainnya direnovasi dari dana APBN dan APBD DIY.

Sementara, dana dari APBN diusulkan untuk memugar gerbang dan urung-urung (lorong) Pulo Panambang dan gerbang Taman Umbul Sari. Adapun dana lain yang akan mengucur dari APBD DIY diproyeksikan untuk mendanai pembangunan Sumur Gumuling dan Pulo Cemeti.

Menurut informasi yang diperoleh, Pemda DIY sudah memugar komplek Taman Sari sejak tahun 1977, dan lewat dana APBN, Dinas Purbakala melakukan pemeliharaan setiap harinya.
Persoalan pertama yang harus dipecahkan adalah memindahkan 2.500 rumah warga yang berjejal di kawasan Taman Sari. Warga yang sudah tinggal puluhan tahun di tanah kraton tersebut tidak bisa begitu saja dipindahkan.

Ketua Unit Keraton Yogyakarta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Eka Hadiyana menjelaskan, renovasi Taman Sari harus dilakukan secara bertahap, karena Sultan HB X yang saat ini memerintah Ngayogyakarta, tidak ingin perbaikan Taman Sari justru menghilangkan auranya.
Karena itu untuk memugar Taman Sari, bukan berarti memolesnya. Tetapi menatanya kembali. Air di Umbul Binangun yang terlihat keruh dan berlumut dikuras dan lapisan-lapisan hasil renovasi sebelumnya, dibuka kembali. Eka menuturkan dengan dikomando langsung oleh orang Portugis, keaslian arsitektur Portugis itu akan terkuak.

Pembangunan Taman Sari
Pembangunan Taman Sari yang lekat dengan arsitektur Portugis ini ditangkap oleh telinga penduduk asli Yogyakarta dan diterjemahkan ke dalam berbagai versi cerita. Versi pertama menyebutkan, seorang bangsa asing terdampar di Mancingan daerah di pantai selatan Yogyakarta. Masyarakat di daerah tersebut menduga bahwa orang tersebut termasuk sebangsa jin atau penghuni hutan.

Masyarakat menganggapnya demikian, karena orang tersebut menggunakan bahasa yang tidak dimengerti. Akhirnya orang asing itu dihadapkan kepada Sultan Hamengku Buwono II yang saat itu masih memerintah.
Sultan akhirnya mengambil orang asing tersebut sebagai abdinya. Beberapa lama kemudian, orang itu bisa berbahasa Jawa dan mengaku sebagai orang Portugis yang kemudian menjadi abdi yang mengepalai pembuatan bangunan.

Sultan pun memerintahkannya untuk membuat benteng. Rupanya Sultan merasa puas dengan hasil kerja orang Portugis tersebut, dan kemudian menganugrahinya sebagai demang. Maka orang asing itu mendapat nama Demang Portugis atau Demang Tegis.
Dari sinilah, ia diperintahkan untuk membangun Pesanggrahan Taman Sari.

Versi lainnya, diceritakan bahwa pada suatu ketika bupati Madiun yang waktu itu bernama Raden Rangga PrawiraoSentiko, memohon supaya dibebaskan dari kewajiban membayar pajak daerah yang harus dibayarkan dua kali dalam setahun.
Bupati Madiun hanya menyanggupi bila ada permintaan-permintaan khusus Sultan HB I untuk kelengkapan hiasan dan kemegahan kraton. Sultan pun mengabulkan permohonan itu.
Bupati Madiun itu lantas diperintah untuk membuat gamelan Sekaten sebagai pelengkap dari gamelan Sekaten yang berasal dari Surakarta.

Semula gamelan tersebut berjumlah satu pasang, tetapi oleh karena palihan nagari (1755) gamelan itu dibagi dua. Satu untuk Kasultanan Yogyakarta dan satu lagi untuk Kasunanan Surakarta. Di samping itu, Sultan Hamengku Buwono I juga memerintahkan kepada Bupati Madiun untuk dibuatkan jempana ‘tandu’ sebagai kendaraan mempelai putri Sultan HB I.

Pada tahun 1684 Raden Rangga Prawira Sentiko diperintahkan untuk membuat batu bata dan kelengkapannya sebagai persiapan untuk membangun pertamanan yang indah sebagai sarana untuk menenteramkan hati Sultan Hamengku Buwono I. Sultan menghendaki hal demikian karena baru saja menyelesaikan tugas berat (perang) yang berlangsung cukup lama. Keluarnya perintah Sultan Hamengku Buwono ditandai dengan sengkalan memet yang berbunyi Catur Naga Rasa Tunggal (1684).

Pembuatan pesanggrahan itu dikepalai Raden Tumenggung Mangundipuraodan dipimpin oleh K.P.H. Notokusumo, yang kemudian hari menjadi K.G.P.A.A. Paku Alam I yang merupakan putra Sri Sultan dari istri selir yang bernama Bendara Raden Ayu Srenggara.
Pembuatan tempat peraduan dan bangunan urung-urung (gorong-gorong) yang menuju keraton yang sering juga disebut Gua Siluman dilakukan pada tahun 1687 dan ditandai dengan candra sengkala Pujining Brahmana Ngobahake Pajungutan (1687).

Sedangkan pembangunan pintu-pintu gerbang dan tembok diselesaikan pada tahun 1691.
Pesanggrahan Taman Sari diberi tanda sengkalan memet yang berupa relief pepohonan yang berbunga dan sedang dihisap madunya oleh burung-burung. Sengkalan memet tersebut berbunyi Lajering Kembang Sinesep Peksi (1691).
Dalam versi ini, Raden Rangga Prawiro Sentiko tak mampu menyelesaikan pembuatan bangunan pesanggrahan Taman Sari karena biayanya lebih besar dibandingkan dengan pembayaran pajak setahun dua kali.
Oleh karenanya ia kembali memohon untuk berhenti dan permohonan itu dikabulkan. Sultan kemudian memerintahkan K.P.H. Notokusumo untuk menyelesaikan bangunan itu atas biaya Sultan sendiri.

BAGIAN PERTAMA
Bagian pertama merupakan bagian utama Taman Sari pada masanya. Pada zamannya, tempat ini merupakan tempat yang paling eksotis. Bagian ini terdiri dari danau buatan yang disebut "Segaran" (harfiah=laut buatan) serta bangunan yang ada di tengahnya, dan bangunan serta taman dan kebun yang berada di sekitar danau buatan tersebut. Di samping untuk memelihara berbagai jenis ikan, danau buatan Segaran juga difungsikan sebagai tempat bersampan Sultan dan keluarga kerajaan. Sekarang danau buatan ini tidak lagi berisi air melainkan telah menjadi pemukiman padat yang dikenal dengan kampung Taman. Bangunan-bangunan yang tersisa dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.

Pulo Kenongo
Di tengah-tengah Segaran terdapat sebuah pulau buatan, "Pulo Kenongo", yang ditanami pohon Kenanga. Di atas pulau buatan tersebut didirikan sebuah gedung berlantai dua, "Gedhong Kenongo". Gedung terbesar di bagian pertama ini cukup tinggi. Dari anjungan tertingginya orang dapat mengamati kawasan Keraton Yogyakarta dan sekitarnya sampai ke luar benteng baluwarti. Konon Gedhong Kenongo terdiri dari beberapa ruangan dengan fungsi berbeda. Dari jauh gedung ini seperti mengambang di atas air. Oleh karenanya tidak mengherankan jika kemudian Taman Sari dijuluki dengan nama "Istana Air" (Water Castle). Saat ini gedung ini tinggal puing-puingnya saja.

Di sebelah selatan Pulo Kenongo terdapat deratan bangunan kecil yang disebut dengan "Tajug". Bangunan ini merupakan menara ventilasi udara bagi terowongan bawah air. Terowongan ini merupakan jalan masuk menuju Pulo Kenongo selain menggunakan sampan/perahu mengarungi danau buatan. Dahulu di bagian barat pulau buatan tersebut juga terdapat terowongan, namun kondisinya sekarang kurang terawat dibandingkan dengan terowongan selatan.

Pulo Cemethi dan Sumur Gumuling
Di sebelah selatan Pulo Kenongo terdapat sebuah pulau buatan lagi yang disebut dengan "Pulo Cemethi". Bangunan berlantai dua ini juga disebut sebagai "Pulo Panembung". Di tempat inilah konon Sultan bermeditasi. Ada juga yang menyebutnya sebagai "Sumur Gumantung", sebab di sebelah selatannya terdapat sumur yang menggantung di atas permukaan tanah. Untuk sampai ke tempat ini konon dengan melalui terowongan bawah air. Saat ini bangunan ini sedang dalam tahap renovasi besar - besaran yang bertujuan untuk merestorasi bangunan - bangunan yang masih ada.

Sementara itu di sebelah barat Pulo Kenongo terdapat bangunan berbentuk lingkaran seperti cincin yang disebut "Sumur Gumuling". Bangunan berlantai 2 ini hanya dapat dimasuki melalui terowongan bawah air saja. Sumur Gumuling pada masanya juga difungsikankan sebagai Masjid. Di kedua lantainya ditemukan ceruk di dinding yang konon digunakan sebagai mihrab, tempat imam memimpin salat. Di bagian tengah bangunan yang terbuka, terdapat empat buah jenjang naik dan bertemu di bagian tengah. Dari pertemuan keempat jenjang tersebut terdapat satu jenjang lagi yang menuju lantai dua. Di bawah pertemuan empat jenjang tersebut terdapat kolam kecil yang konon digunakan untuk berwudu.

BAGIAN KEDUA
Bagian kedua yang terletak di sebelah selatan danau buatan segaran merupakan bagian yang relatif paling utuh dibandingkan dengan bagian lainnya. Bagian yang tetap terpelihara adalah bangunan sedangkan taman dan kebun di bagian ini tidak tersisa lagi. Sekarang bagian ini merupakan bagian utama yang banyak dikunjungi wisatawan.

Gedhong Gapura Hageng
"Gedhong Gapura Hageng" merupakan pintu gerbang utama taman raja-raja pada zamannya. Kala itu Taman Sari menghadap ke arah barat dan memanjang ke arah timur. Gerbang ini terdapat di bagian paling barat dari situs istana air yang tersisa. Sisi timur dari pintu utama ini masih dapat disaksikan sementara sisi baratnya tertutup oleh pemukiman padat. Gerbang yang mempunyai beberapa ruang dan dua jenjang ini berhiaskan relief burung dan bunga-bungaan yang menunjukkan tahun selesainya pembangunan Taman Sari pada tahun 1691 Jawa (kira-kira tahun 1765 Masehi).

Gedhong Lopak-lopak
Di sebelah timur gerbang utama kuno Taman Sari terdapat halaman bersegi delapan. Dahulu di tengah halaman ini berdiri sebuah menara berlantai dua yang bernama "Gedhong Lopak-lopak", versi lain menyebut gopok-gopok. Sekarang (Januari 2008) gedung ini sudah tidak ada lagi. Di halaman ini hanya tersisa deretan pot bunga raksasa serta pintu-pintu yang menghubungkan tempat ini dengan tempat lainnya. Pintu di sisi timur halaman bersegi delapan tersebut merupakan salah satu gerbang menuju Umbul Binangun.

Umbul Pasiraman
"Umbul Pasiraman" atau ada yang menyebut dengan "Umbul Binangun" (versi lain "Umbul Winangun") merupakan kolam pemandian bagi Sultan, para istri beliau, serta para putri-putri beliau. Kompleks ini dikelilingi oleh tembok yang tinggi. Untuk sampai ke dalam tempat ini disediakan dua buah gerbang, satu di sisi timur dan satunya di sisi barat. Di dalam gerbang ini terdapat jenjang yang menurun. Di kompleks Umbul Pasiraman terdapat tiga buah kolam yang dihiasi dengan mata air yang berbentuk jamur. Di sekeliling kolam terdapat pot bunga raksasa. Selain kolam juga terdapat bangunan di sisi utara dan di tengah sebelah selatan.

Bangunan di sisi paling utara merupakan tempat istirahat dan berganti pakaian bagi para puteri dan istri (selir). Di sebelah selatannya terdapat sebuah kolam yang disebut dengan nama "Umbul Muncar". Sebuah jalan mirip dermaga menjadi batas antara kolam ini dengan sebuah kolam di selatannya yang disebut dengan "Blumbang Kuras". Di selatan Blumbang Kuras terdapat bangunan dengan menara di bagian tengahnya. Bangunan sayap barat merupakan tempat berganti pakaian dan sayap timur untuk istirahat Sultan. Menara di bagian tengah konon digunakan Sultan untuk melihat istri dan puterinya yang sedang mandi kemudian yang tubuh telanjangnya paling mengesankan sultan akan di panggil ke menara. Di selatan bangunan tersebut terdapat sebuah kolam yang disebut dengan "Umbul Binangun", sebuah kolam pemandian yang dikhususkan untuk Sultan dan Permaisurinya saja. Pada zamannya, selain Sultan, hanyalah para perempuan yang diizinkan untuk masuk ke kompleks ini. Ini di mungkinkan karena semua perempuan (permaisuri, istri ( selir ) dan para putri sultan) yang masuk ke dalam taman sari ini harus lepas baju (telanjang), sehingga selain perempuan di larang keras oleh sultan untuk masuk ke Taman Sari.

Gedhong Sekawan
Di timur umbul pasiraman terdapat sebuah halaman bersegi delapan. Di halaman yang dihiasi dengan deretan pot bunga raksasa ini berdiri 4 buah bangunan yang serupa. Bangunan ini bernama "Gedhong Sekawan". Tempat ini digunakan untuk istirahat Sultan dan keluarganya. Di setiap sisi halaman terdapat pintu yang menghubungkannya dengan halaman lain.

Gedhong Gapuro Panggung
Di sebelah timur halaman bersegi delapan tersebut terdapat bangunan yang disebut dengan "Gedhong Gapura Panggung". Bangunan ini memiliki empat buah jenjang, dua di sisi barat dan dua lagi di sisi timur. Dulu di bangunan ini terdapat empat buah patung ular naga namun sekarang hanya tersisa dua buah saja. Gedhong Gapura Panggung ini melambangkan tahun dibangunnya Taman Sari yaitu tahun 1684 Jawa (kira-kira tahun 1758 Masehi). Selain itu di bangunan ini juga terdapat relief ragam hias seperti di Gedhong Gapura Hageng. Sisi timur bangunan ini sekarang menjadi pintu masuk situs Taman Sari.

Gedhong Temanten
Di tenggara dan timur laut gerbang Gapuro Panggung terdapat bangunan yang disebut dengan "Gedhong Temanten". Bangunan ini dulu digunakan sebagai tempat penjaga keamanan bertugas dan tempat istirahat. Menurut sebuah rekonstruksi Taman Sari di selatan bangunan ini terdapat sebuah bangunan lagi yang sekarang tidak ada bekasnya sedangkan di sisi utaranya terdapat kebun yang juga telah berubah menjadi pemukiman penduduk.

BAGIAN KETIGA
Bagian ini tidak banyak meninggalkan bekas yang dapat dilihat. Oleh karenanya deskripsi di bagian ini sebagian besar berasal dari rekonstruksi yang ada. Dahulu bagian ini meliputi Kompleks "Pasarean Dalem Ledok Sari" dan Kompleks kolam "Garjitawati" serta beberapa bangunan lain dan taman/kebun.

Pasarean Dalem Ledok Sari merupakan sisa dari bagian ini yang tetap terjaga. Pasarean Dalem Ledok Sari konon merupakan tempat peraduan Sultan bersama Pemaisurinya. Versi lain mengatakan sebagai tempat meditasi. Bangunannya berbentuk seperti U. Di tangah bangunan terdapat tempat tidur Sultan yang di bawahnya mengalir aliran air. Sebuah dapur, ruang penjahit, ruang penyimpanan barang, dan dua kolam untuk pelayan begitu pula kebun rempah-rempah, buah-buahan, dan sayur-sayuran diperkirakan berada bagian ini. Di sebelah baratnya dulu terdapat kompleks kolam Garjitawati. Jika hal itu benar maka kompleks ini merupakan sisa pesanggrahan Garjitawati dan kemungkinan besar juga merupakan Umbul Pacethokan yang pernah digunakan oleh Panembahan Senopati.

BAGIAN KEEMPAT
Bagian terakhir ini merupakan bagian Taman Sari yang praktis tidak tersisa lagi kecuali bekas jembatan gantung dan sisa dermaga. Deskripsi di bagian ini hampir seluruhnya merupakan sebuah rekonstruksi dari sketsa serangan pasukan Inggris ke Keraton Yogyakarta pada tahun 1812. Bagian ini terdiri dari sebuah danau buatan beserta bangunan di tengahnya, taman di sekitar danau buatan, kanal besar yang menghubungkan danau buatan ini dengan danau buatan di bagian pertama, serta sebuah kebun. Danau buatan terletak di sebelah tenggara kompleks Magangan sampai timur laut Siti Hinggil Kidul. Di tengahnya terdapat pulau buatan yang konon disebut "Pulo Kinupeng". Di atas pulau tersebut berdiri sebuah bangunan yang konon disebut dengan "Gedhong Gading". Bangunan yang menjulang tinggi ini disebut sebagai menara kota.

Kanal besar terdapat di sisi barat laut dari danau buatan dan memanjang ke arah barat serta berakhir di sisi tenggara danau buatan di bagian pertama. Di kanal ini terdapat dua penyempitan yang diduga keras merupakan letak jembatan gantung. Salah satu jembatan tersebut berada di jalan yang menghubungkan kompleks Magangan dengan Kamandhungan Kidul. Bekas-bekas dari jembatan ini masih dapat disaksikan, walaupun jembatannya sendiri telah lenyap. Di sebelah barat jembatan gantung terdapat sebuah dermaga. Dermaga ini konon digunakan Sultan sebagai titik awal perjalanannya masuk ke Taman Sari. Konon Sultan masuk ke Taman Sari dengan bersampan. Di sebelah selatan Kanal terdapat kebun. Kebun ini berlokasi di sebelah barat kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul. Kini semua tempat itu telah menjadi pemukiman penduduk. Kebunnya telah berubah menjadi kampung Ngadisuryan sedangkan danau buatan berubah menjadi kampung Segaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar